Puisi. Kata ini seakan memiliki magnet yang amat besar daya sedotnya. Tumbuh beribu-ribu penyair di Indonesia ini buah dari kuasa magnet tersebut. Namun, Herry Lamongan bukanlah penyair yang menulis karena pesona magnet itu. Herry menulis karena ingin mencatat lintasan-lintasan peristiwa yang dijumpainya. Puisi adalah media yang paling pas baginya untuk mengungkapkan komentarnya atas peristiwa-peristiwa itu. (Tengsoe Tjahjono, Tadarus Sang Begawan, 323).
Catatan ini sebagai ucapan ulang tahun ke-60 untuk (teman ngopi setia) Herry Lamongan.
Sebelum memulai tulisan ini, saya perlu memohon maaf sebesar-besarnya. Saya bukan sastrawan, bukan juga penulis andal seperti kawan-kawan sekalian. Demikian juga, saya bukan orang yang paham benar dengan karya-karya besar Herry Lamongan sebagai begawan sastra di Lamongan. Kedekatan saya dengan Herry Lamongan sebatas teman ngopi. Itupun, saya tidak kenal-kenal benar (kala itu). Sekadar menyapa, senyum, dan terkadang kebetulan nongkrong bareng pada acara-acara keprofesian guru. Yang saya tahu, Herry Lamongan adalah penulis sastra dan langganan juara, baik secara individu ataupun dalam pembinaan anak didiknya. Anggap saja, tulisan saya sebagai curahan pengalaman, endorse, atau apapun itu sebutannya.
Kilas Balik Saling Mengenal
Saya seringkali mengakrabkan diri, mengajak bicara dalam beberapa kesempatan, namun Herry Lamongan adalah sosok misterius, (menurut saya saat itu). Ibarat menembus ruang bicara antara kami sungguh susah. Ya, memang selisih usia kami sangat jauh berbeda. Antara anak dan bapak.
Tahun 2016, tepat setelah saya menjuarai perlombaan web blog pembelajaran di Jawa Timur, ada notifikasi pesan Whats App. “Mas, ayo ngopi”, begitu pesannya. Ya, beliau Herry Lamongan seorang guru yang saya kagumi dalam dunia kepenulisan. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Kami janjian, ketemu, dan ngopi bareng.
Dalam perjumpaan itu, beliau berpesan sembari sesekali melintir rokoknya yang mau dinyalakan dengan olesan ampas kopi kesukaannya. Intinya, beliau senang jika ada guru yang mempunyai kemauan menulis. Beliau merasa seakan ada generasi penerus dari kalangan guru, khususnya guru sekolah dasar yang dengan “gila” mau menulis. Meski, saya meyakini bahwa itu hanya ungkapan yang membuat hati saya besar. Toh, saya saat itu juga belum niat betul dengan menulis.
Menuang Kopi Inspirasi
Usia yang tak lagi muda, namun semangat yang ditularkan Herry Lamongan tetap belia. Baru kali ini, saya menjumpai orang dengan usia beliau, bisa ngobrol akrab seperti kami seusia. Tak ada kecanggungan, entah mau curhat, cerita, atau membahas sastra, dengan sabar dan setia mendengar sesekali diselingi dengan tawa khasnya. Tak jarang, Herry Lamongan menuangkan kopi inspirasinya pada perjamuan di warung-warung kopi.
Dalam perjumpaan di warung-warung kopi, kami selalu mendapatkan ilmu-ilmu yang meski tidak secara langsung disampaikan. Hal yang menarik dari Herry Lamongan yaitu tidak pernah mengatakan jelek atau salah pada karya teman-teman. Semua karya itu benar, semua karya itu baik, yang salah yang jelek itu yang tidak mau menulis, katanya sambil terkekeh ketika ditanya perihal karya teman-teman.
Mengenal Herry Lamongan adalah sebuah sumber semangat untuk menggencarkan dunia kepenulisan. Saya bersama beberapa kawan, terpacu mencoba dunia sastra dan menerbitkan beberapa karya buku patungan dalam komunitas GU. Buku-buku itu bukan hal istimewa, yang menjadikan istimewa adalah karya-karya Herry Lamongan turut menghias dan membimbing generasi pemula seperti kami.
Inspirasi dan semangat Herry Lamongan akan selalu kami kenang, khususnya saya sendiri yang banyak mendapat dukungan semangat untuk terus berkarya, dalam bidang apapun. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada guru, bapak, sahabat, dan teman ngopi saya, Herry Lamongan.
#herrylamongan
Comments
Post a Comment