ZONASI PPDB: MASYARAKAT BELUM SIAP

ZONASI PPDB: MASYARAKAT BELUM SIAP

zonasi ppdb

“Sekolah saiki gampang, modal meteran wes melbu sekolah apik”.

Begitulah salah satu kalimat pamungkas emak-emak yang sedang berbincang sistem zonasi PPDB. Ngobrolnya sambil ngantri beli sayuran. Lah terus, emak sijine nimpali jawaban, “Yo iku jenenge adil Yuk, ben gak arek pinter wae sing sekolah favorit”.

Perdebatan sistem zonasi ini memang berkepanjangan. Tak kunjung usai. Sampai detik ini pun masih berseliweran opini-opini liar tentang PPDB. Di pasar, warung, media sosial, sampek nang ngarepe petugas pendaftaran PPDB. Sek eyel-eyelan.

Ya, tidak ada yang salah.. Semua benar. Menurut versinya masing-masing. PPDB, baik sistem nilai atau sistem zonasi ya sama-sama merampas hak anak. Dari kedua pembenaran tersebut, tetap ada kelompok yang terdholimi rek. Tapi bukan berarti yang pro zonasi anaknya bodoh, lalu yang menolak zonasi anaknya pintar. Waduh tenan, jangan punya pemikiran seperti ini.

Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada orang tua yang menolak zonasi atau yang pro terhadap zonasi. Secara, mereka ingin pendidikan terbaik untuk putra-putrinya. Sopo seh sing gak gelem anake entuk barang apik. Paketan internet wae milih sing murah tur banter.

Lah gimana tidak kecewa, ujian yang dipersiapkan mati-matian, ketika nilai keluar, mak bedunduk tidak terpakai. Ya, ada juga sih pertimbangan jalur nilai tapi jumlahnya cuma sak upil. Itupun sing wes garing. Ajur, jarene emak-emak. Sudah mengeluarkan banyak biaya untuk persiapan ujian, mulai les, beli buku, sampai biaya bensin riwa-riwi ngojek anak agar nilainya bagus, eh tidak terpakai.

Masyarakat Belum Siap

Kapan hari ada seorang teman yang membagikan berita, “Masa Sekolah Favorit Berakhir”, dengan menambahkan caption “Yes, ben adil”. Aku langsung mikir jeru rek. Lho sek ta lah. Tidak ada sekolah negeri yang menjadikan dirinya menjadi sekolah favorit. Yang menjadikan favorit ya keadaan dan masyarakat dengan sendirinya. Tidak ada yang katanya sekolah oke punya versus sekolah kumuh jaya. Semua sama, kalau antusias dan dukungan masyarakat sama pada semua sekolah.

Jadi kalau ada yang menyalah-nyalahkan munculnya sekolah favorit yo salah rek. Harusnya pemerintah yang turut andil mengubah perlahan anggapan sekolah favorit dengan pemerataan kualitas guru dan fasilitas. Tidak langsung dengan sistem zonasi.

Lalu apa sistem zonasi ini salah?. Yo nggak blas. Sistem zonasi bukan hal baru. Pak Menteri sendiri sudah menjelaskan bahwa beberapa negara, salah satunya Jepang sudah menerapkan sistem ini. Mengapa di negara-negara tersebut tidak banyak gejolak?.

Tidak perlu mengkhayal jauh tinggal di Jepang. Di media sosial sudah banyak beredar penjelasan tentang penerapan zonasi disana. Jepang ini negara yang pendidikannya maju, fasilitas terpenuhi, dan kualitas guru merata. Dibandingkan dengan Indonesia ya jelas jauh. Hal ini yang membuat masyarakat belum bisa menerima zonasi. Sampai pada akhirnya muncul kasus pindah domisili, pindah KK, ngontrak rumah, yang paling ekstrim omahe pindah. Lak yo gawat. Harga rumah jadi melambung nggak karuan. Sudahlah, jangan dipaksakan. Masyarakat belum siap.

Kalau pada akhirnya kemendikbud akan melaksanakan zonasi guru, melakukan rotasi untuk memaksimalkan sistem zonasi PPDB. Hal ini ya justru terbalik, seperti kata pepatah, zonasi guru dahulu zonasi PPDB kemudian. Lah yang menyebabkan masyarakat bisa menerima ini kualitas guru dan fasilitas merata kok.

Jika akhirnya zonasi dianggap sebagai jalan terbaik, seyogyanya dipersiapkan pelan-pelan. Tidak mendadak. Misal begini, zonasi dilaksanakan bertahap. Mulai dengan angka kecil pada prosentase zonasi 5 persen. Atau 10 persen ya wes babah ta lah rek. Jadi sekolah dan masyarakat khususnya ini tidak kaget. Sambil menyisipkan zonasi, pemerintah bisa secara bertahap melakukan rotasi guru dan perbaikan fasilitas sekolah. 

Wes ta lah, misal kualitas guru dan fasilitas merata. Saya yakin 99,99 persen, tanpa ada aturan sistem zonasi, masyarakat pasti akan memilih sekolah terdekat. 

DMCA.com Protection Status

Comments