Oleh: Nur Kholis Huda, M.Pd. *
sumber ilustrasi: pixabay.com guru penggerak di era merdeka belajar |
Pergantian
tongkat kepemimpinan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pastinya membawa
dampak pada perubahan kebijakan. Kita bahkan sudah teryakinkan dengan istilah
“ganti menteri, ganti kurikulum”. Mindset
untuk “menghakimi” seakan menjadi budaya atau bahkan menjadi kearifan lokal,
seperti guyonan anak muda zaman sekarang.
Pada
era kabinet Indonesia Maju Presiden Jokowi, dengan terpilihnya menteri baru Nadiem
Makarim dari kalangan millenial, tentunya tak luput dari perubahan kebijakan. Terlebih
dengan latar belakang yang fenomenal seputar teknologi digital, meski tidak ada
perubahan terkhusus dalam bidang kurikulum dasar.
Perubahan
signifikan tersebut bernama “merdeka belajar”. Melihat empat hal besar
kebijakan dalam konsep merdeka belajar, justru poin yang dicetuskan akan
memperkuat sistem kurikulum sebelumnya, kurikulum 2013. Menitikberatkan pada
peningkatan karakter dan pembelajaran kreatif-inovatif dengan melibatkan siswa
aktif, seperti yang kita lihat dan dengar bersama di berita media. Empat hal
perubahan besar tersebut antara lain: perubahan arah pelaksanaan USBN (Ujian
Sekolah Berstandar Nasional), perubahan UN (Ujian Nasional) menjadi asesmen
kompetensi minimum dan survey karakter, penyederhanaan RPP (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran), dan penyesuaian penerapan sistem penerimaan peserta didik baru.
Era Baru Merdeka Belajar
Perubahan
adalah hal yang sulit dan penuh ketidaknyamanan, seperti ungkapan dalam
penggalan pidato Mas Menteri dalam pidato Hari Pendidikan Nasional. Begitulah
gambaran era baru merdeka belajar. Sangat sulit diterima. Pesimisme dan pro-kontra
begitu cepat mengemuka. Satu hal yang patut kita renungkan, jangan terburu
kaget dengan pola perubahan. Biasa saja. Tidak perlu terburu mengadili dan membandingkan
dengan sistem sebelumnya. Terlebihi memvonis gagal sebelum dicoba.
Era
merdeka belajar memberikan kepercayaan setinggi-tingginya kepada guru. RPP yang
selama ini dianggap terlalu menyekap kreativitas guru berinovasi dikemas menjadi
lebih sederhana. Masing-masing RPP cukup memuat 3 komponen inti: tujuan
pembelajaran, langkah pembelajaran, dan asesmen. Satu halaman cukup. Guru lebih
bebas mendesain pembelajaran, menjadi lebih efisien tanpa muatan-muatan yang
justru menjadi beban. Namun bagaimana format idealnya?. Ini yang harus segera
dikaji lebih dalam agar tidak terjadi spekulasi pemikiran.
USBN
dan UN tak lagi menjadi momok menakutkan. PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) zonasi
yang sudah membuang muka pada hasil USBN dan UN, nyatanya- hasil kedua ujian
tersebut masih membawa hal-hal buruk dalam pelaksanaannya. Kesuksesan siswa
atau sekolah seolah hanya diukur dari hasil kedua ujian tersebut. Setiap
lembaga pendidikan berlomba-lomba meraih prestasi paling “paripurna” untuk
menaikkan derajat sekolah masing-masing. Bimbingan-bimbingan belajarpun turut
andil saling mempromosikan janji-janji kesuksesan. Kini, kita berharap era
merdeka belajar mengubah aktivitas dan pemikiran kolot tersebut.
Selanjutnya,
PPDB zonasi akan lebih berperan dengan sempurna. Jika tahun sebelumnya sudah
dilaksanakan, dengan perhitungan prosentase baru akan lebih menambah ruang pada
siswa berprestasi. Prestasi itupun dipasrahkan sepenuhnya kepada sekolah
sebagai bentuk kedaulatan sekolah. Seiring pelaksanaan PPDB zonasi, harapan
kita pastinya akan terjadi pertumbuhan sebanding dengan pemerataan fasilitas
dan guru di seluruh lembaga pendidikan hingga ke pelosok desa. Prosentase
prestasi yang meningkat dari 15% menjadi 30%, kita harus meyakini akan
memberikan motivasi dan pemerataan.
Peranan Guru Penggerak
Era
merdeka belajar memang butuh pendukung dan penyeimbang. Hal tersebut rupanya
sudah disiapkan oleh Mas Menteri. Satu ungkapan yang sempat viral, yaitu
tentang munculnya istilah guru penggerak. Dalam pidatonya, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan tersebut menyebutkan, guru penggerak adalah tokoh utama
perubahan merdeka belajar.
Lantas
siapa sebenarnya yang dimaksud guru penggerak?. Asumsi-asumsi liar bertebaran,
di media sosial, di media-media nasional, hingga di obrolan-obrolan ringan. Salah
satu gambaran guru penggerak versi Mas Menteri, guru tersebut memiliki
karakteristik yang unik dan terkesan “nakal”. Kita dapat menyimpulkan, pastinya
“kenakalan” guru tersebut erat kaitannya dengan kekreatifan dalam inovasi
pembelajaran.
Di
Indonesia banyak bertaburan guru-guru hebat, saban tahun pasti terlihat, baik pada
ajang perlombaan inovasi pembelajaran atau inovasi-inovasi lain yang dipamerkan
di akun media sosial. Mereka adalah guru-guru “gila” yang susah dibendung
kreativitasnya. Berjuta karya inovatif, dari paling sederhana hingga yang
paling kompleks sering bermunculan di media-media sosial. Meski, kebanyakan
dari mereka selalu berbenturan dengan aturan-aturan yang selama ini kurang
memberi kebebasan.
Guru-guru
semacam ini sudah seharusnya menjadi penyebar virus guru penggerak. Dari satu
guru ke guru lainnya, dari satu sekolah ke sekolah lainnya, dan seterusnya.
Guru-guru penggerak inilah yang akan menjadi cikal bakal perubahan pola berpikir
merdeka belajar pada masing-masing lembaga. Sudah saatnya para guru berlomba
pamer proses kreatif-inovatifnya.
Konsep
merdeka belajar tentunya akan saling berdampingan dengan guru penggerak. Mereka
akan menjadi suksesor empat kebijakan perubahan besar dalam konsep merdeka
belajar. Tak ada lagi ukuran-ukuran nilai formalitas yang didewakan, hingga
berlomba-lomba meraih hasil tinggi (hanya) sebagai tolok ukur kesuksesan
lembaga pendidikan. Toh, nyatanya
banyak kecurangan-kecurangan bukan?.
Telah dimuat di QURETA
Nur Kholis Huda, lahir di Lamongan, 24 Oktober 1984. Kepala SDN yang gemar "ngopi". Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online Jawa Timur, antara lain: Bhirawa, Malang Post, Radar Bojonegoro Jawa Pos, Media Pendidikan Jatim, Suroboyo.id, Surabaya Kota Literasi dan lain sebagainya.
Nur Kholis Huda, lahir di Lamongan, 24 Oktober 1984. Kepala SDN yang gemar "ngopi". Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online Jawa Timur, antara lain: Bhirawa, Malang Post, Radar Bojonegoro Jawa Pos, Media Pendidikan Jatim, Suroboyo.id, Surabaya Kota Literasi dan lain sebagainya.
Comments
Post a Comment