MENJADI KEPALA SEKOLAH

MENJADI KEPALA SEKOLAH

Pagi ini, seperti biasa aku berangkat dengan diiringi lagu Indonesia Raya tiga stanza yang terdengar syahdu dari siaran radio lokal. Pastinya hal ini membangkitkan rasa nasionalisku yang perlahan memudar. Kebiasaan ini memang belum lama, ya sekitar satu bulanan, lebih tiga hari. Jalanan masih sepi, udara masih sejuk, burung-burungpun masih banyak berkeliaran. Bahkan sebagian berkeliaran di angan-anganku. Aku mungkin terlalu semangat, rasa ini mungkin belum pernah ada sejak aku kerja di kota delapan tahun terakhir.

Oh iya, aku kini menjadi kepala sekolah. "Apa? Kepala Sekolah?".

Sudah tidak perlu kaget begitu mendengarnya. Biasa saja. Toh saya hanya menjadi kepala sekolah di desa. Bukan hal yang istimewa. Jika toh nanti sekolah tempat aku kerja menjadi istimewa, itu semua karena guru-guruya, karena kerja kerasnya, karena keikhlasannya, yang jarang ditemukan di kota.

Menjadi kepala sekolah ternyata bukan hal yang menyeramkan, seperti yang aku bayangkan selama ini. Banyak orang ketakutan untuk menjadi kepala sekolah, termasuk aku (saat itu). Aku sering membayangkan bahwa menjadi kepala sekolah akan mematikan kreativitas dan inovasi yang selama ini aku nikmati ketika menjadi guru.

Selama menjadi guru, apalagi ketika mendapatkan tempat yang nyaman dan dengan fasilitas yang serba ada, sungguh menjadikan segalanya menjadi mudah. Mau apa saja, tinggal berkata, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, semuanya serba ada. Luar biasa. Ajaib.

Ya, mungkin ini hanya berlaku bagi guru-guru di sekolah-sekolah tertentu, atau biasa disebut sebagai sekolah maju. Sebagian teman pasti tidak sependapat, "Ah, enak apanya, hidup kami serba susah", sangkalnya. Baik, berbeda pendapat itu biasa, karena memang kita hidup tidak harus sama. Kita bahkan tidak bisa memaksa semua sependapat dengan kita. Betul?

Kembali lagi pada pembahasan menjadi guru. Selama menjadi guru, aku mungkin bisa membusungkan dada. Bisa meraih beberapa juara pada ajang-ajang tingkat provinsi, bahkan lebih. Dari sini, ketakutan-ketakutan semakin membabi-buta. Bagaimana bisa semerdeka ini jika menjadi kepala sekolah. Mengkritik saja susah.

Menurut berontak pemikiranku, menjadi kepala sekolah adalah titik mati dalam berkreativitas. Apa yang bisa dilakukan kepala sekolah? Memerintah? Mengerjakan administrasi sekolah, yang itu-itu saja?. Sungguh, membosankan.

Menjadi kepala sekolah pada usia yang masih muda, seperti memaksa kita melakukan penuaan dini. Jadi bukan hanya pernikahan dini saja yang berbahaya, pikirku. Bagaimana tidak, kepala sekolah adalah Bapak di sekolah. Menjadi Bapak di usia muda? Sudah mirip pernikahan dini bukan?.

Sudah, sudah. Bualanku di atas itu hanya ketakutan silamku saja. Menjadi kepala sekolah toh tidak semenakutkan itu. Ini hanyalah proses takdir Tuhan, yang dengan tangan-tangan pejabat, yang dengan menempatkan di pelosok terjauhpun, kita bisa bersemangat. Bisa belajar tentang keikhlasan, belajar tentang perjuangan, belajar tentang kebersamaan. Yang mungkin selama di kota, itu susah ditemukan (lagi).

Oleh karena itu, Tuan Pejabat, terima kasih. Mungkin proses ini banyak memakan debat, tapi bukan kesumat. Saat ini, langkah-langkah munajat, akan membuatku lebih dekat, Bapak.

Dengan hikmat, aku akhiri tulisan ini dengan kata "semangat".

Bagaimana dengan Anda, minat menjadi kepala sekolah?



Nur Kholis Huda, lahir di Lamongan, 24 Oktober 1984. Kepala SDN yang gemar "ngopi". Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online Jawa Timur, antara lain: Bhirawa, Malang Post, Radar Bojonegoro Jawa Pos, Media Pendidikan Jatim, Suroboyo.id, Surabaya Kota Literasi dan lain sebagainya.

DMCA.com Protection Status

Comments