Hari ini, Sabtu, 7 Maret 2020, saya tertarik menonton secara langsung pertunjukan kentrung Lamongan. Selama ini, saya yang lahir dan dibesarkan bukan di kalangan seni tradisional, tidak pernah bahkan belum pernah mendengar kisah tentang seni-seni tradisional salah satunya sastra kentrung.
Dalam workshop tradisi lisan dan sastra kentrung yang dilaksanakan di Gedung Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kabupaten Lamongan, saya pertama kali melihat dan memahami seni sastra kentrung secara langsung.
para pemateri wokshop tradisi lisan dan sastra kentrung |
Sastra kentrung menurut penuturan Rodli TL merupakan sastra lisan, yaitu karya sastra yang disampaikan melalui ucapan baik dengan kemesan seni pertunjukan atau di luar darinya. Sastra lisan merupakan kekayaan yang paling banyak yang diciptakan oleh nenek moyang yang terus-menerus ditransformasikan secara lisan kepada generasinya.
Sastra kentrung itu sendiri sebenarnya tidak asli berasal dari Lamongan. Sebagaimana penelitian pertama kali tentang kentrung yang dilakukan Suripan Sadi Hutomo dalam buku hasil penelitiannya yang berjudul Kentrung Sarahwulan di Tuban. Bahwa muasal kentrung berasal dari desa Bate Bangilan Pati Jawa Tengah. Yang menciptakan kemasan penyampaian sastra lisan dengan kentrung pertama kali adalah Sunan Kalijaga lalu dikembangkan oleh Kyai Basiman lagi pada tahun 1930. Turun-temurun dan berkembang ke berbagai wilayah pantura Jawa; Jepara, Tuban, Lamongan, bahkan ke selatan, ke Blora, Tulungagung, Kediri, Blitar dan ke berbagai tempat lainnya.
Sayangnya, sastra lisan dengan kemasan kentrung ini perkembangannya semakin lama semakin ditinggalkan generasinya, satu-satunya dalang yang ada di kabupaten tertentu meninggal dan tidak punya penerus. Padahal kentrung sampai sekarang diyakini memiliki spirit yang cukup tinggi untuk merekatkan antar masyarakat dan mendekatkan pada Tuhannya. Tentu usaha yang sangat mulia bila ada sekelompok anak muda yang mau menghidupkan fosil yang sejatinya sedang melawan mati tersebut menjadi kemasan sastra lisan yang cukup menarik, hadir di tengah-tengah kebutuhan estetika anak muda.
Sedangkan Welly Suryandoko lebih tertarik pada bagaimana cara mengemas sastra kentrung untuk lebih modern. Dinding millenial dirasa cukup berat untuk ditembus oleh seni-seni tradisional. Hal ini terbukti dengan daya tahan generasi sekarang dalam menyaksikan seni tradisional khususnya sastra kentrung yang ditampilkan oleh Yazid (penerus Aba Khusairi) dari kentrung Derajad Lamongan. Kecenderungan lebih mengarahkan pandangan ke gadget ketimbang menikmati tampilan kentrung itu sendiri sebagai bukti nyata bahwa ketertarikan generasi millenial tidak bisa disamakan dengan generasi lampau. Sehingga kemasan kolaborasi atau bahkan inovasi kentrung kendalam wujud kekinian sangat diperlukan.
Yazid sendiri sebagai penerus Aba Khusairi menyampaikan bahwa mau tidak mau harus ada generasi yang meneruskan kentrung Derajad. Tidak lain yaitu dirinya sebagai anak Aba Khusairi. Yazid ingat pesan abahnya bahwa dalam penyajian sastra kentrung harus memuat 3 aspek, yaitu: budaya, dakwah, dan sejarah. Sehingga apa yang dicita-citakan dan dijalankan Abah Khusairi akan tetap terjalankan.
Saya sangat tertarik mendalami dalam aspek sejarahnya. Disini saya bisa menyaksikan 6 variasi sastra kentrung yang diawali oleh penampilan Yazid dengan judul Mbah Lamong. Dari sinilah saya lebih paham dengan detil tentang sejarah Mbah Lamong. Dengan mendengar, saya lebih mudah memahami cerita dibandingkan membaca yang bagi saya lebih menjenuhkan.
Kisah Mbah Lamong ini sendiri mengisahkan perjalanan Mbah Lamong sebagai santri Sunan Giri dalam mencari wilayah percabangan sungai (kaliotik). Dalam perjalanannya Mbah Lamong terlanjur hingga wilayah Desa Babat Kecamatan Babat. Kisah terus berlanjut hingga perjalanan Mbah Lamong sampai di wilayah Derajad dan kembali lagi di wilayah Lamongan kota (Tumenggungan). Kisah dilanjutkan dengan aksi mengambil diam-diam pusaka Sunan Giri oleh Ki Danureksa di kediaman Mbok Rondo. Hingga pada akhirnya Danureksa diselamatkan oleh sekelompok lele yang menutupi kali tempat Ia bersembunyi. Dan diakhir cerita, keris kembali di tangan Sunan Giri. Tetapi Danureksa harus menepati janji terbunuh oleh pengawal Mbok Rondo yang mengejar Danureksa.
Kisah Mbah Lamong ini sendiri mengisahkan perjalanan Mbah Lamong sebagai santri Sunan Giri dalam mencari wilayah percabangan sungai (kaliotik). Dalam perjalanannya Mbah Lamong terlanjur hingga wilayah Desa Babat Kecamatan Babat. Kisah terus berlanjut hingga perjalanan Mbah Lamong sampai di wilayah Derajad dan kembali lagi di wilayah Lamongan kota (Tumenggungan). Kisah dilanjutkan dengan aksi mengambil diam-diam pusaka Sunan Giri oleh Ki Danureksa di kediaman Mbok Rondo. Hingga pada akhirnya Danureksa diselamatkan oleh sekelompok lele yang menutupi kali tempat Ia bersembunyi. Dan diakhir cerita, keris kembali di tangan Sunan Giri. Tetapi Danureksa harus menepati janji terbunuh oleh pengawal Mbok Rondo yang mengejar Danureksa.
Comments
Post a Comment