SIKAP JALAN TENGAH TERHADAP CORONA MENURUT ZEHAN ZAREEZ

SIKAP JALAN TENGAH TERHADAP CORONA MENURUT ZEHAN ZAREEZ

SANTRI DAN SIKAP JALAN TENGAH 
(Sebuah Catatan Ringan)

sikap jalan tengah terhadap Corona

Kita tidak bisa mengingkari bahwa segala kejadian punya sebab. Kejadian-kejadian yang terjadi ini lah yang pada akhirnya kita namai qadar. Sejauh apapun seseorang mengupayakan sesuatu agar tidak terjadi (baik terhadap dirinya maupun yang lain) jika memang Allah menghendaki terjadi maka akan tetap terjadi. Di sini lah (dalam sorot pendapat mayoritas) muncul perintah qanaah, sabar, tawakkal, ihtiyar, pasrah atau dlsb.

Sebuah kejadian bisa terjadi (alias diterjadikan) lantaran memiliki sebab. Meskipun pada hakikatnya Allah berhak saja menjadikan segala kejadian --- dengan atau pun tanpa sebab. Terserah Allah tentunya. Terselipnya sebab-sebab sebelum kejadian tersebut sebenarnya merupakan hikmah besar; bahwa Allah tiada pernah membentuk sebuah tatanan kehidupan yang rumusnya di luar rasionalitas manusia; yang dalam hal ini sebagai satu-satunya mahluk ber-pikiran. Jika pun dalam rute perjalanan kehidupannya nanti didapati sebuah kronologis yang terjadi tanpa alasan, maka 'zhann'/rumangsa terbaik adalah kembali pada tabiat manusianya sendiri yang sedang gagal menafakkuri sebab-sebab dari kejadian yang terjadi.

Tidak ada, atau bahkan tidak mungkin pernah ada satu ihwal pun yang kita alami di kehidupan ini tanpa keterlibatan Allah sebagai Yang Maha Menghendaki. Perkara disukai atau tidak, mencemaskan atau membahagiakan, membingungkan atau memcerahkan merupakan sub bahasan lain. Tugas manusia adalah berserah. Berpasrah atas kejadian apa pun yang terjadi sekaligus sigap menyalakan cambuk sirine bahwa segala kejadian punya titik kembali.

Allah tidak kejam. Dia Maha Rahman. Mustahil dalam penciptaanNya, Dia menciptakan (katakan) satu mahluk dengan jatah penderitaan dan ketidakbahagiaan total sepanjang umur ia dihidupkan. Pasti ada sisi bahagianya, ada sisi baiknya, sisi bermanfaatnya dan masih banyak sisi-sisi potentif yang lain. Asal sakelar pikirannya dihidupkan, dinyalakan demi menuju titik terang kebijaksanaan-kebijaksanaan yang teka-teki. Begitu pula dalam sebuah kaum, tatanan masyarakat, suku maupun bangsa. Tidak mungkin ada kaum yang diciptakan tanpa fungsi dan faedah. Sekelas masyarakat Yahudi pun (dalam sejarahnya) pernah menjadi sebuah kaum yang begitu dimanja oleh Allah. Kemanjaan, bukankah bisa terjadi lantaran adanya guyuran kasih sayang?

Sebuah retorika takdir yang mengujung pada perseteruan, rata-rata dihasilkan dari gagalnya manusia dalam meletakkan dirinya sendiri --- sebelum akhirnya terlalu berani memberikan nilai.  Bayangkan saja, satu buah peristiwa heroik sedang diseterukan sepuluh orang yang buta diri. Apa yang akan terjadi ? Semakin 'ambyar'nya nilai tuju, bukan ? Di titik ini lah kita semua diuji dalam memahami toleransi. Dan di titik ini pula lah kita sering membatalkan diri dari kefitrahan sebagai mahluk sosial. Jika kita sengaja berjalan dengan sandal jepit yang putus, otomatis kita juga harus siap berjalan lamban dengan sedikit upaya susah tanpa kenyamanan. Pendapat demikian satu rumus dengan sebuah kaidah fiqih "ar-ridho bi as-syai', ridho bi maa yatawalladu minhu". Kerelaan kita dalam suatu hal, menjadikan kita mau tidak mau rela pula atas resiko yang dilahirkan. Tidak ada satu pun sikap yang nol resiko. Keberanian kita dalam melepas identitas tafakkur yang seharusnya melekat, otomatis melahirkan kerumitan yang mau tidak mau memang harus kita terima sebagai resiko. Terlebih, keberanian ini diambil bukan hanya satu atau dua orang. Katakan satu kaum, satu masyarakat kota, atau negara. Dapat dipastikan lebih besar pula resikonya. Jika dalam hal ini yang bermasalah sebatas diri kita sendiri, maka tak ada solusi lain yang paling tepat selain tafakkur insaniyah secara pribadi. Satu sakit diobati, maka potensi sembuhnya menjadi besar. Namun jika yang bermasalah dalam hal ini adalah masing-masing kepala, maka tentu peluang penyembuhan menjadi kecil, lantaran setiap dari yang sakit harus menjadi dokter terhadap sakitnya sendiri-sendiri. Belum lagi, sebagian besar dari kita, konon angkuh menganggap sedang dalam keadaan tidak sakit. Tentu akan semakin rumit. Perseteruan dan kegaduhan semakin membesar, ditambah kurang adanya kesadaran bahwa penyebab dasarnya adalah kita sendiri yang selalu mengaku tidak jadi penyebab.

Kasus ini sebenarnya erat berkaitan dengan fenomena virus corona yang telah menjadi pandemi di tengah kita semua. Jutaan sudut pandang mengungkap bicara dengan modal dasar kenihilan masing-masing. Saling dibenturkan, saling ditumpang-tindihkan,  saling sorot. Kesepakatan hanya terjadi di titik; bahwa ternyata para pemilik sudut pandang tersebut masih sama-sama takut dengan kematian. Termasuk mereka yang gencar menyuarakan; kematian adalah mutlak ketentuan Allah.

Seorang pakar khatulistik mengatakan virus ini muncul dari Wuhan. China pada akhirnya menjadi negara kasihan lantaran dituduh sebagai biang. Seorang dokter andil bersuara bahwa virus jenis ini belum ada obat konkritnya. Diraciknya formulasi-formulasi baru sebagai penangkal yang ampuh, meski belum sempurna. Beberapa pakar agama pun nimbrung mengemas mufakkat meletupkan dentuman-dentuman kesabaran, kepasrahan dan lain sebagainya. Tak kalah, elit pemerintah gencar memberikan himbauan-himbauan kewaspadaan. Normal. Dan wajar. Sampai di titik ini, pola sebenarnya sudah berjalan dengan cantik. Karena pakar memang harus berani bicara tentang keahliannya, dan ahli dituntut tegas bersuara tentang lingkup bidangnya. Tugas kita (sebagai masyarakat) harusnya adalah meletakkan diri sebaik-baiknya, sebelum bersikap sebijak-bijaknya. Itu saja.

Patut mendapat prihatin lebih tatkala tafakkur insaniyyah tadi dikesampingkan. Misal pakar kesehatan yang seharusnya berbicara banyak tentang ilmu kesehatan beralih mulut membicarakan ketuhanan. Para ulama menjadi tak laku kalam-kalamnya. Mereka pun akhirnya memilih menjadi pendebat hanya karena tak ingin martabatnya jatuh. Belum lagi seluruh kepala dalam masyarakat menyulap dirinya masing-masing menjadi yang seolah paling paham pola atur pemerintahan. Pemerintah kehilangan fungsi sebagai yang berwibawa dalam pengambil keputusan. Akhirnya memilih menjadi masyarakat biasa yang asal lempar mulut dan warta ke tetangga-tetangga. Kerumpangan akan jelas terjadi bahkan kian tak terarah. Ujungnya, kegelisahan bukan lagi ada di titik bagaimana virus ini musti dihentikan. Tapi justru jauh, bagaimana tatanan kesadaran masyarakat ini harus dikembalikan.

Semua faktor memiliki pembenarannya masing-masing, selagi pemberi dasar adalah pakar dan ahlinya. Seluruh gejala bisa mendapat ruang kebenaran, selagi disertai kesadaran tentang luasnya ilmu dan rahmat yang ada di dalam perbedaan. Tapi seluruh rangkuman-rangkuman kebenaran akan batal menjadi benar, jika polanya diterjang.

Jadi, bagaimana ?

Sebagai masyarakat biasa wajibnya ya patuh terhadap kebijakan pemerintah; apapun dan bagaimanapun bentuknya. 

Sebagai mahluk sosial berprofesi, harus pula percaya pada pakar kesehatan demi tujuan besar yang bermanfaat. 

Sebagai muslim, wajibnya tetap dan terus menambah keimanan, bahwa segala hal tak pernah lepas dari pantauan Allah. 

Sebagai santri, ya terus ngaji, patuh pada guru dan kiai, sambil terus menata khusnudhon bahwa tatanan yang demikian memang sudah yang terbaik. 

Merangkap sebagai itu semua, cari saja jalan tengah dan titik temunya. 
Caranya ? Jangan mengistirahatkan hati dan meninabobokkan pikiran. 
...
Salam
Zehan Zareez

DMCA.com Protection Status

Comments